I Love Satan! ^)^
Menonton film The Secret secara “tidak sengaja” memberikan aku inspirasi baru dalam hidup. Keesokan harinya secara “tidak sengaja juga” mendengarkan berapa lagu terutama punya Samsons, semakin membuka pemahaman liarku tentang peran kejahatan, keburukan, dan keterpurukan dalam hidup manusia di dunia ini…
Lho, apa hubungannya?
Makanya, sabar dulu atuh…
Duplikasi warning sebelumnya: Posting ini mempunyai muatan filosofis yang lebih padat daripada posting harian gw. Dan warning yang lebih lagi adalah, gw jarang banget, ato bahkan mungkin belum pernah, menemukan orang yang bisa “mengepaskan” pemikiran gw dalam kerangka berpikir orang tersebut. Either you’ll be surprised, you’ll think I’m crazy, you’ll reject me outright because of my baseless interpretation, or you’ll simply have to break your old and dusty and inflexibly restrictive frame of reference first.
Saya sudah membahas tentang film (juga novel?) The Secret yang satu ini sebelumnya, Anda bisa baca kalau ingin tau. But it’s not the point.
Beberapa hari yang lalu, pemicunya adalah kontemplasi sporadis saya pada saat beralun diiringi oleh lagu Samsons bertajuk Kehadiranmu:
Kehadiranmu menggugah hidupku, ajarkan aku bijaksana, membaca lembaran hidupku di dunia.
Interpretasiku mengenai larik ini mulai dari kata kedua sampai akhir kalimat bisa dibilang literal, artinya nyaris dengan apa yang akan terpikir di benak setiap orang pada saat mendengarnya dibacakan oleh reporter Liputan 6.
Kenapa “membaca” lembaran hidup… bukan “menulis” atau “menorehkan” atau “melukis”? Karena dalam hidup kita ada yang dinamakan takdir, yang menurut Harun Yahya:
Takdir adalah pengetahuan sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu atau masa depan. Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang belum terjadi, dan ini membuat mereka gagal memahami kebenaran takdir.
Tapi “kehadiranmu,” aku fokuskan pada suatu hal yang sama sekali berbeda, interpretasi yang kontradiktif dengan apa yang mungkin dibayangkan banyak orang, yaitu:
Satan. 🙂
Keberadaanmu dalam kisahku, tunjukkan aku bahagia, dalam perjalanan hidup yang tersulit.
Banyak yang terpikir dalam benakku saat menyelami kalimat ini. Contoh cueknya adalah kesedihan kita akan terasa lebih ringan saat melihat orang lain yang mempunyai beban lebih berat… 🙂
“Ternyata masih banyak orang yang lebih tidak beruntung daripada aku,” ucapannya biasanya seperti itu.
Efek emosionalnya akan lebih dahsyat lagi apabila kita menggunakan psikologi imajinasi untuk menarik perbandingan yang tak terkira. Sesial-sialnya kita, atau Anda, atau saya, sebagai manusia, tidak ada apa-apanya dibandingkan “keterkutukan tanpa batas.”
Secara matematis, Anda bisa bilang -10 adalah nilai yang negatif. Tapi angka -10 adalah 10x lipat lebih “baik” daripada -100. Angka -10 adalah 100x lipat lebih baik daripada -1000, dan seterusnya.
Dan jika Anda membandingkan dengan angka -Infinity atau angka negatif tak berhingga, maka angka -10 adalah angka yang luar biasa positifnya secara tak berbatas. 🙂
Sempat mengingatkan saya pada… “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS. Ibrahim 34)
Secara matematis, hal ini sudah “terbukti” dengan aksiom seperti pada paragraf sebelumnya. (Ilustrasi: hitunglah jumlah bilangan bulat antara -10 dengan -Infinity.)
Dan hadirmu… menyempurnakan akhir pencarian hidupku.
Kalimat ini mengingatkan aku dengan sebuah “pemberat.” Di mana pemberat tersebut tidak mempunyai fungsi yang substansial selain untuk menjaga “keseimbangan.”
Saya pernah dengar sebuah pernyataan, “Sebuah sistem dapat bersifat konsisten, atau complete (lengkap), tapi tidak mungkin memiliki kedua tersebut sekaligus.” Pernyataan tersebut sangat sulit untuk dipahami tanpa ilustrasi atau visualisasi yang lebih konkret.
Secara konseptual, adanya “pemberat” ini memungkinkan kita melakukan hal-hal sambil mengevaluasi secara kontinu. Mirip seperti bumi yang memungkinkan kita untuk berpijak, berjalan, dan berlompatan tanpa takut bahwa bumi yang kita pijak akan tiba-tiba runtuh. Dengan adanya gravitasi, kita bisa mengukur berapa berat (er, massa…) tubuh kita hanya dengan menggunakan prinsip yang sangat sederhana. Mungkin Anda tidak pernah menyadari bahwa menimbang berat tubuh di luar angkasa, di lingkungan yang bebas gravitasi merupakan pekerjaan yang sangat rumit?
Kehangatan yang Kau cipta untukku memberikan aku cermin hati ‘tuk melihat seluruh putihnya kasihMu.*
Kalimat ini saya interpretasikan sedikit berbeda karena sebagian besar mengacu kepada Dzat Yang Maha Agung.
“Kehangatan” di sini dalam konteks perbandingan dengan hal yang “tidak hangat”. Kontras di sini adalah pusat perhatian, yang ditegaskan oleh kata yang saya tebali yaitu…
Cermin hati. Entah kenapa saya sangat memfavoritkan kata “cermin.” Cermin mempunyai arti filosofis yang sangat berarti bagi saya. Cermin adalah alat untuk melihat diri kita sendiri. Cermin selalu memberikan gambaran yang sebaliknya dengan keadaan sebenarnya.
Dan mungkin saja Anda lupa dengan pelajaran waktu kecil bahwa gambar di dunia ini diterima oleh retina mata dalam keadaan terbalik. Otak kitalah yang membalik gambar tersebut agar kita tidak melihat dunia yang atas-di-bawah.
Cermin bisa menipu, tapi cermin juga bisa menjadi alat yang sangat berguna untuk memperjelas persepsi kita. Dengan cermin, kita bisa melihat seluruh* sudut yang tidak bisa kita lihat tanpa cermin… seperti apa yang terjadi pada saat kita potong rambut di salon. Dengan cermin, kita bisa mengakali keterbatasan diri kita dalam menangkap sesuatu… seperti kaca spion samping.
Dengan cermin hati, kita selalu punya harapan dalam mengarungi samudera hidup yang gelap pekat dan nyaris tanpa kepastian… seperti halnya nahkoda kapal kuno yang menavigasi lautan dengan bantuan sextant.
Terima kasih karena telah memberiku cara baru untuk menilai sebuah perspektif… As my friend Ariel Meilij once said, it’s such an epiphany… 🙂
I “Love”… Satan. 🙂
Disclaimer tidak beraturan:
Perlu diperhatikan bahwa saya termasuk orang yang mempunyai pemikiran multi-manifestasi (apa ini? koq istilahnya radak katrox.) Maksudnya, saya akan memberikan evaluasi valid atas dua interpretasi yang seolah-olah berbeda bahkan bertolak belakang, karena menggunakan kerangka pikir yang secara organik berkembang untuk mengakomodasi
berbagai manifestasi dari interpretasi yang, pada dasarnya, bersumber dari hal yang sama.
Apa pun yang saya ekspresikan pada dasarnya hanyalah salah satu manifestasi dari interpretasi topik tertentu. Hal ini berarti tidak menutup kemungkinan bahwa saya bisa sependapat dengan interpretasi lain yang bagi orang lain mungkin bertolak belakang, sedangkan bagi saya sepenuhnya dapat diterima dan tidak bersifat kontradiktif.