Pinjam Tangan Multifungsi: Gratis!!!
Baru baca sebagian buku “Kun Fayakun” karangan Ustadz Yusuf Mansur, gara2 dipinjami sebentar oleh bapak pemilik Warteg.
Ada satu bagian yang sangat menyentuh hati saya, di halaman 108.
Diceritakan bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Mata bukan milik kita. Begitu pula tangan, hati, semua bagian tubuh dan juga harta yang kita miliki.
Oh, jadi sedih, kalo bibir pinjaman ini, mencium bibir lain yang kebetulan dipinjamkan ke seorang wanita, yang kebetulan wanita tersebut belum dihalalkan bagi saya. Sedih juga, kalo mata pinjaman ini, melihat hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mata “saya”.
Jangan tanya apakah ini pengalaman pribadi, kalo Anda kebetulan wanita yang mempertimbangkan saya sebagai pasangan hidup, tentunya harus tau dong calonnya seperti apa? 😉
Pemilik barang-barang pinjaman ini yaitu Allah tentu saja berhak memberi peraturan barang2 pinjamannya mau diapain. Yang boleh, yang disarankan, dan yang dilarang.
Kemarin baru nginep di Hotel Horison Bandung berhubung ada acara di IT Telkom. Kalo misalnya di hotel itu sepreinya robek, misalnya, pastilah dicharge tambahan. Kalo misalnya TV-nya kita pecahin, tentunya kami disuruh ganti.
Ternyata berbeda dengan barang2 pinjaman di tubuh saya ini, belum pernah saya disuruh ngganti kalo misalnya penggunaannya nggak sesuai peraturan. Bahkan kalaupun mau kena “extra-charge,” caranya sederhana:
“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Maa’idah: 74]
Apalah artinya tubuh saya dibandingkan seprei, TV, atau barang2 hotel lainnya. Aku takut kalau2 HP-ku rusak, laptopku rusak, tapi astaghfirullah jarangnya aku berpikir saat merusakkan mataku, tanganku, dan barang2 lainnya yang cuma pinjam. Pinjam alias gratis, bukan sewa. Subhanallah.
Yang bikin lebih sedih lagi…
Berkata Nabi Musa AS:” Dosa apakah yang lebih besar daripada dosa wanita yang telah berzina dan membunuh anak dari hasil perzinahan tersebut, Ya Jibril???”. Jibril menjawab:” Seseorang yang meninggalkan Sholat dengan sengaja”.
Astaghfirullah, ternyata apa yang ku(tidak)lakukan selama ini lebih berat dosanya dibandingkan sebuah pekerjaan yang sangat keji yaitu berzina dan membunuh.
Ngomong begini bukan karena Ramadhan, bukan karena aku sok alim, justru karena jauh dari itu. Kalau udah alim mungkin bakal malah jarang ingat kesalahan2 diri sendiri, jadi aku nggak mengidamkan jadi “orang alim”. Semoga posting ini bisa jadi pengingat untuk diriku sendiri; kalo bisa berguna bagi yang lain tambah alhamdulillaah lagi. Amiin.